SBNpro – Siantar
Advokat, Daulat Sihombing SH.MH mengatakan, penetapan dan penahanan yang dilakukan penyidik Polres Simalungun terhadap Mara Salem Harahap alias Marsal tidak sah, cacat yuridis dan batal demi hukum.
Hal itu dikatakan mantan hakim adhock itu dalam kapasitanya selaku kuasa hukum Marsal pada sidang perdana praperadilan di PN Simalungun, Selasa (10/7/2018).
Sidang praperadilan perdana yang diajukan wartawan media online LasserNewsToday itu dipimpin hakim tunggal Rosida Silalahi SH. Sedangkan Marsal selaku pemohon melawan Kapolres Simalungun selaku termohon.
Daulat Sihombing, menguraikan ada enam narasi hukum yang menjadi alasan Marsal selaku Pemohon untuk menggugat termohon.
Antara lain, termohon disebut melanggar Putusan MK Nomor : 130/ PUU – XIII/2015, tanggal 11 Januari 2017, karena sejak termohon menerbitkan Surat Perintah Penyidikan No.Pol : Sp.Dik/50/I/2018/Reskrim, tertanggal 29 Januari 2018 hingga Pemohon mengajukan praperadilan ke PN Simalungun tertanggal 26 Juni 2018, Termohon tidak memberikan SPDP kepada Pemohon atau kuasanya.
Alasan Daulat, karena dalam putusan MK Nomor : 130/ PUU – XIII/2015, tanggal 11 Januari 2017, bahwa : “Penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat tujuh hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.
Selain itu, termohon disebut melanggar Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, karena termohon dalam penetapan dan penahanan Pemohon sebagai tersangka diragukan tidak memenuhi bukti permulaan yang cukup berdasarkan dua alat bukti.
Faktanya, sebut Daulat lagi, dalam penetapan dan penahanan pemohon sebagai tersangka, termohon ujar Daulat sama sekali tidak memberitahukan kepada pemohon, tentang adanya bukti permulaan yang cukup berdasarkan minimal dua alat bukti sebagaimana dimaksud Putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015. Jo. Pasal 184 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Demikian juga tentang azas hukumnya, dimana termohon disebutnya melanggar Azas Hukum Lex Specialis Derogate Legi Generalis, karena termohon dalam penetapan dan penahanan pemohon sebagai tersangka, tidak berlandaskan UU Pokok Pers/ UU Pers yang bersifat khusus atau lex specialis, sebagaimana Pasal 5 UU No. 40 Tahun 1999 dan Pasal 15 UU No. 21 Tahun 1982.
Dimana pada Pasal 5 UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, mengatur bahwa dalam hal seseorang atau sekelompok orang merasa dirugikan pemberitaan pers, maka sebelum mengajukan keberatan ke dewan pers atau melaporkan ke institusi kepolisian atau mengajukan gugatan perdata ke pengadilan, wajib terlebih dahulu mengajukan hak jawab atau hak koreksi kepada redaksi.
Pasal 15 UU No. 21 Tahun 1982 tentang UU Pokok Pers, mengatur sistem pertanggungjawaban pidana pers bersifat suksesif atau fiktif yang dikenal dengan istilah pertanggungjawaban AIR TERJUN atau WATERFALL, dimana pertanggungjawaban pidana pers dapat diwakilkan atau dialihkan kepada orang lain secara menurun atau dari atas ke bawah menurut struktur managemen perusahaan pers yang bersangkutan”.
Tidak hanya itu, menurut Daulat termohon melanggar UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tipikor, karena termohon dalam penetapan dan penahanan pemohon sebagai tersangka tidak mempertimbangkan tentang hak dan peran warga negara dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Alasannya, karena dalam kasus ini, Marsal sebelumnya telah memberitakan tentang dugaan pidana korupsi mengenai RSUD Perdagangan.
Dalam kasus ini, berita atau tulisan Marsal mempunyai hubungan kausalitas atau sebab akibat yang tak dapat dipisahkan dengan Laporan Pengaduan DPD LSM – LASSER RI (Lembaga Aspirasi Seruan Peduli Rakyat RI) Propinsi Sumut ke Ketua KKP – RI, Nomor : 02/DPD/Lsm-Lasser RI/ Sumut/III/2018, tanggal 12 Maret 2018.(ril)
Discussion about this post