SBNpro – Jakarta
Komite Keselamatan Jurnalis mendesak kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melakukan liputan aksi massa buruh di kawasan DPR/MPR pada Jumat (16/8/2019), segera diusut tuntas.
Komite Keselamatan Jurnalis juga mendorong Polri menjadikan Nota Kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 2/DP/MoU/II/2017 sebagai Peraturan Kapolri (Perkap).
Pasalnya, MoU tersebut dinilai belum efektif membendung kekerasan terhadap jurnalis. Terutama terhadap pelaku kekerasan yang berasal dari anggota Polri.
Peristiwa terbaru, enam jurnalis dari media cetak, online, dan televisi mengalami kekerasan fisik dan intimidasi saat meliput aksi unjuk rasa di sekitar Gedung DPR/MPR Jakarta, Jumat (16/8/2019) yang diduga pelakunya adalah oknum aparat kepolisian.
Kekerasan serupa juga pernah terjadi terhadap jurnalis saat meliput aksi 21-22 Mei lalu. AJI Jakarta mencatat ada 7 pelaku kekerasan diduga anggota Polri dari 20 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama dua hari tersebut.
Dalam catatan AJI (Aliansi Jurnalis Independen), periode Januari -Desember 2018, polisi juga menjadi pelaku terbanyak, dengan 15 kasus dari 64 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis.
Padahal menurut Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 2/DP/MoU/II/2017 pasal 4 ayat 1 menyebutkan para pihak berkoordinasi terkait perlindungan kemerdekaan pers dalam pelaksanaan tugas di bidang pers sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Komite Keselamatan Jurnalis menilai kepolisian tidak serius menangani pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang diduga berasal dari anggotanya. Hal itu terlihat dari belum adanya anggota polisi yang mendapat hukuman, meski telah melakukan kekerasan terhadap jurnalis.
Pasal 8 UU Pers menyatakan dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. Merujuk pada KUHP dan Pasal 18 UU Pers, pelaku kekerasan terancam hukuman dua tahun penjara atau denda Rp500 juta.
Komite Keselamatan Jurnalis juga menyoroti lemahnya tanggung jawab perusahaan dalam penanganan kasus kekerasan yang menimpa jurnalisnya. Menurut Pedoman Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Wartawan yang telah diterbitkan Dewan Pers pada 2012, tanggung jawab utama penanganan kasus berada di tangan perusahaan pers.
Kelemahan tersebut tergambar dari 20 kasus kekerasan yang terjadi pada 21-22 Mei, hanya ada 2 kasus yang dilaporkan kepada kepolisian. Sementara 18 kasus lainnya tidak dilaporkan dengan berbagai pertimbangan dari perusahaan dan korban.
Secara tidak langsung, sikap perusahaan media dan jurnalis tersebut turut mendorong praktik impunitas terhadap pelaku kekerasan terhadap jurnalis. Kendati demikian, Komite Keselamatan Jurnalis juga memaklumi jika ada jurnalis-jurnalis yang tidak berani melaporkan kasusnya dengan alasan takut dan tidak mendapat dukungan dari perusahaan media.
Atas dasar tersebut, Komite Keselamatan Jurnalis menyatakan sikap:
1. Mendesak Kapolri dan Kapolda Metro Jaya untuk menindak tegas anggotanya yang terbukti melakukan kekerasan dan penghalangan jurnalis yang melakukan kegiatan jurnalistik. Kekerasan tersebut bukan saja merugikan kebebasan pers, namun juga merusak citra Polri sebagai pengayom masyarakat.
2. Mendorong perusahaan pers untuk aktif dalam penanganan kasus kekerasan yang menimpa jurnalisnya sebagai bagian tanggung jawab memutus impunitas pelaku kekerasan.
3. Mendesak Dewan Pers dan Polri segera melakukan koordinasi sesuai amanat MoU Perlindungan Kemerdekaan Pers minimal satu kali dalam setahun.
4. Selanjutnya untuk mencegah keterulangan kasus kekerasan, Kapolri segera menindaklanjuti Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri sebagai Peraturan Kapolri agar lebih bersifat mengikat.
5. Komite Keselamatan Jurnalis juga membuka posko pengaduan bagi jurnalis yang mengalami kekerasan melalui hotline Komite Keselamatan Jurnalis: 0812-4882-231. (AJI Indonesia)
Editor : Purba
Discussion about this post