Oleh M Gunawan Purba
Belakangan ini bangunan melanggar Perda nomor 1 tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kota Siantar menjadi sorotan publik. Baik pemerhati, DPRD Kota Siantar, media dan eksekutif melemparkan sorotannya masing-masing. Namun solusinya, tak kunjung maksimal dalam hal penegakan aturan tanpa diskriminasi. Kesan tebang pilih masih cukup terasa.
Sorotan kuat terkesan ditujukan terhadap bangunan yang direncanakan untuk Universitas Efarina di Jalan Wismar Saragih. Bangunan itu disebut-sebut tidak sesuai RTRW Kota Siantar. Sejumlah media sudah berulang memuat berita tentang bangunan universitas tersebut. Pejabat dari jajaran Pemko Siantar juga turut serta “berujar” di pemberitaan media. Anggota DPRD Kota Siantar, lebih keras lagi menyikapinya.
Bahkan secara kelembagaan, DPRD Kota Siantar melalui Komisi III telah menyikapi hal itu secara resmi, dengan menggelar rapat dengar pendapat (RDP) dengan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR), Plt Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BPPPD), Kepala Dinas Lingkungan Hidup (Kadis LH), dan Kepala Dinas Penanaman Modal Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). RDP digelar 23 Juni 2020 yang lalu di Ruang Rapat Gabungan Komisi DPRD Kota Siantar.
Pada RDP itu, bukan hanya bangunan Universitas Efarina yang dibahas. Termasuk pengelolaan limbah rumah sakit Vita Insani dan juga bangunan Restoran City & Hotel (Studio 21) di Jalan Siantar – Parapat Simpang Dua, Kecamatan Siantar Marimbun, Kota Siantar.
Aneh, bila yang disoroti DPRD Kota Siantar hanya sebatas bangunan Universitas Efarina dan Restoran City & Hotel. Karena di Kota Siantar, “gudangnya” bangunan melanggar Perda RTRW dan Perda lainnya, serta ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bercerita Perda RTRW, tentunya banyak hal yang harus dipatuhi. Selain zona hijau sebagai larangan mendirikan bangunan, di Perda itu juga melarang membangun di gang kebakaran, bangunan harus sesuai dengan garis sempadan jalan maupun garis sempadan bangunan, serta ketentuan lainnya.
Pada kesempatan ini, penulis mencoba mencontohkan bangunan yang diduga kuat melanggar Perda RTRW, karena bangunannya berada di gang kebakaran. Bangunan jenis ini sangat mudah ditemukan. Bahkan diareal yang sering dilintasi, maupun disinggahi publik. Seperti bagian belakang bangunan Restoran Miramar di Jalan Sutomo. Sejumlah bangunan ruko di Jalan Diponegoro, di Jalan Cipto dan lainnya.
Sedangkan bangunan yang diduga melanggar garis sempadan jalan adalah bangunan Hotel Horison di Jalan Medan, Simpang Rami. Bangunan ini sudah cukup lama berdiri. Kemudian, bangunan Rumah Makan (RM) Grand Asean di Jalan Sangnaualuh, depan Mega Land, juga diduga melanggar garis sempadan jalan.
Hanya saja, hingga saat ini, bangunan yang diduga melanggar garis sempadan jalan tersebut, masih berdiri tegak. Bahkan elit politik (termasuk anggota dewan), eksekutif, Bawaslu, KPU dan pihak swasta, tidak jarang menggelar kegiatan di Hotel Horison.
Namun pada RDP Komisi III DPRD Kota Siantar pada 23 Juni 2020 lalu, masalah bangunan Hotel Horison, RM Grand Asean dan sejumlah bangunan di pusat kota, sama sekali tidak dibahas dan tidak dipermasalahkan secara tegas di RDP Komisi III tersebut. Ada apa? Apakah sudah ada, apa-apanya?
Apakah mereka (anggota dewan) tidak tahu? Ah, sangat sulit untuk dipercaya, jika mereka mengaku tidak tahu. Karena bangunan itu tampak secara kasat mata, dan juga pernah menjadi sorotan media. Lantas kenapa tidak dibahas?
Untuk menjawab itu, tentunya kita harus berpikir logis akan kebutuhan ekonomi atau kebutuhan politis, para “elite” yang ada di Kota Siantar ini. Yah, itulah dugaannya. Namun jika benar, cara itu sangat menyakitkan bagi masyarakat. Tapi apakah mereka peduli dengan rasa sakit yang dirasakan masyarakat? Entahlah.
Pun demikian, sebaiknya, membahas bangunan yang diduga kuat menyalahi aturan, harus dilakukan secara menyeluruh dan komprehensif. Karena hal itu berkaitan dengan persoalan kemampuan Pemko Siantar dalam menjalankan tugasnya. Jika seluruh bangunan yang menyalah harus dibongkar, tentunya hal itu akan merugikan Kota Siantar. Karena jumlahnya sangat banyak di Kota Siantar. Banyak kali-pun.
Namun membiarkan bangunan kembali lahir dengan menyalahi aturan, juga tidak bijak dan memalukan. Sehingga untuk itu, baik eksekutif, legislatif dan stakeholder lainnya, harus duduk bersama menuntaskan banyaknya bangunan menyalahi aturan di Kota Siantar.
Saatnya berlomba “menjual” gagasan dan merealisasikan gagasan tersebut. Itu dilakukan demi menjaga wibawa eksekutif dan legislatif di Kota Siantar. Dan demi tegaknya aturan tanpa pandang bulu dikemudian hari. “Collingdown” sementara untuk melahirkan gagasan, untuk masa depan yang lebih baik. (*)
Discussion about this post