Oleh M Gunawan Purba
Dimasa pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), kasus dugaan korupsi bantuan untuk orang miskin dan orang terdampak Covid-19 muncul di negeri ini. Kok tega ya?
Terheboh, kasus dugaan korupsi bantuan sosial di Kementerian Sosial. Kasus itu melibatkan Menteri Sosial saat itu, Juliari Batubara. Saat ini kasusnya masih dalam persidangan. Semoga hakim yang menangani perkara itu memiliki nurani yang kuat dalam pemberantasan korupsi.
Itu dugaan korupsi di Kementerian Sosial. Di Simalungun, ada juga dugaan korupsi bantuan untuk warga miskin atau untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Peristiwanya diduga terjadi sebelum pandemi Covid-19 melanda negeri ini.
Perkara itu berupa dugaan korupsi proyek pemasangan sambungan air minum ke rumah masyarakat berpenghasilan rendah (SR – MBR) di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Lihou Simalungun, yang anggarannya bersumber dari dana hibah APBN.
Dugaan korupsi proyek SR – MBR tahun 2018, anggaran pemasangan untuk 2 ribu sambungan baru mencapai Rp 6 miliar, dan tahun 2019 untuk pemasangan 2.637 sambungan baru sebesar Rp 8,1 miliar.
Pada proyek SR – MBR tersebut, diduga ada terjadi praktik korupsi, dan atau dugaan praktik pungutan liar (pungli) terhadap masyarakat berpenghasilan rendah.
Bila itu benar terjadi, pelakunya harus dihukum seberat-beratnya. Karena pelaku cukup tega menambah kesusahan orang miskin. Bukannya membantu, malah tega “menghisap darah” orang susah. Orang seperti itu meski “dibumihanguskan”.
Untuk itu, pendekatan hukum yang tegas harus dipraktikkan aparat penegak hukum (APH) di setiap tingkatan pada lembaga peradilan. Baik ditingkat penyidikan, penuntutan, maupun dimasa persidangan.
Sikap tegas dari APH sangat penting, agar ada efek jera. Salah satunya, dengan tidak memberi kesempatan kepada tersangka di masa penyidikan untuk tidak dikenakan penahanan. Sebab, tersangka kasus korupsi sangat layak untuk dikenakan penahanan.
Hal yang sama juga harus dilakukan penuntut umum di masa penuntutan, maupun oleh hakim dimasa persidangan. Terlebih hal itu harus dilakukan terhadap tersangka kasus korupsi yang membuat masyarakat miskin bertambah susah.
Seperti kasus dugaan korupsi SR – MBR di Simalungun, sudah selayaknya jaksa dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu) segera mempercepat proses (tahapan) penyidikan. Lalu, segera pula menetapkan tersangka, dan langsung menahannya.
Percepatan penuntasan perkara itu cukup realistis. Sebab perkara itu, diduga sudah lama terjadi. Yakni sekira dua dan tiga tahun yang lalu. Ditambah lagi, Direktur Eksekutif Lingkar Rumah Rakyat (LRR) Siantar, Bangun Pasaribu mengaku, pihaknya pernah mengadukan kasus itu ke kejaksaan pada Agustus 2019 yang lalu.
Penuntasan segera, selain sebagai efek jera, juga sebagai upaya perang terhadap korupsi yang merupakan salah satu kejahatan luar biasa.
Berhubung korupsi merupakan kejahatan luar biasa, langkah yang harus ditempuh penyidik, penuntut umum dan hakim, selayaknya pula dengan tindakan “luar biasa”. Yakni, penanganan cepat dan tindakan yang dapat menciptakan rasa takut untuk berbuat korupsi. Salah satunya, tindakan pemiskinan terhadap pelaku korupsi bantuan bagi masyarakat miskin, cukup tepat dilakukan, bila dapat dilakukan.
Selain tindakan tegas, Kejatisu juga diharapkan transparan dalam menangani perkara dugaan korupsi SR – MBR di PDAM Tirta Lihou, serta mengusut tuntas siapapun yang terlibat dalam perkara itu.
Pasalnya, diduga bukan hanya sebatas oknum yang ada di lingkungan PDAM Tirta Lihou yang terlibat dugaan korupsi SR – MBR. Melainkan, diduga ada keterlibatan oknum petinggi diluar dari PDAM Tirta Lihou. (*)
Discussion about this post