SBNpro – Siantar
Ratusan mahasiswa di Kota Siantar kembali melakukan aksi turun kejalan (unjuk rasa), Senin (12/10/2020). Mereka kembali menyuarakan penolakan terhadap Undang-undang (UU) Omni Bus Law tentang Cipta Kerja. Karena UU itu dinilai akan membawa celaka.
Berbagai alasan penolakan UU Omni Bus Law disajikan pengunjukrasa, ketika beraksi. Baik melalui poster, spanduk, maupun alasan yang disampaikan lewat orasi oleh sejumlah orator.
Mahasiswa yang berasal dari Ikatan Mahasiswa Muhammadyah (IMM), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan Aliansi Mahasiswa Menggugat (AMM) menyatakan, lahirnya UU Omni Bus Law tentang Cipta Kerja prosesnya cacat hukum.
Pengunjukrasa juga tampak geram dengan butir-butir pasal yang ada di UU Omni Bus Law. Dari poster yang dipajang mahasiswa menyebut DPR-RI telah menjajah bangsanya sendiri, dengan mensahkan UU Omni Bus Law. “Jangan jajah bangsamu sendiri, DPR,” demikian ditulis pengunjukrasa pada salah satu poster yang mereka bawa dan pajang.
Kegeraman lainnya, mereka menuding UU Omni Bus Law berpihak ke investor yang diduga bakal melakukan pengrusakan alam. “Tolak perusak alam berkedok investasi,” tuding pengunjukrasa, melalui poster lainnya.
Kemudian, mahasiswa juga menolak disebut ditunggangi ketika berunjukrasa. Cibiran ditunggangi itu dibalas mahasiswa dengan menyebut kalau UU Omnibus Law merupakan pesanan elite. “Kau bilang mahasiswa ditunggangi!! Emang Omni Bus Law pesanan siapa?” tulis mahasiswa. “Omnibus Law pesanan siapa? Elite!!,” sebut mereka.
Beranjak dari pemikiran mereka tersebut, IMM, GMNI, GMKI dan AMM dengan tegas menyatakan menolak UU Omni Bus Law tentang Cipta Kerja. Untuk itu, Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) diminta segera mengeluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti UU) untuk membatalkan UU Omni Bus Law. “Presiden harus segera keluarkan Perpu,” tandas mahasiswa melalui poster lainnya.
Sementara itu, salah satu Koordinator Aksi dari GMKI, Luther Dewanto Sinaga dalam orasinya menyikapi cibiran yang dialamat ke mahasiswa. Katanya, mahasiswa tidak ada ditunggangi ketika melakukan aksi.
Sedangkan terkait UU Omni Bus Law yang disahkan pada tengah malam tanggal 5 Oktober 2020 yang lalu oleh DPR-RI, dinilai Luther cacat hukum. Karena tidak memiliki kajian akademis dan kajian lainnya. “Undang-undang itu cacat secara hukum pengesahannya,” tandas Luther.
Ditambah lagi, pemerintah dan DPR -RI kurang dalam hal sosialisasi terhadap draf UU Omni Bus Law. Sehingga, masyarakat sulit untuk mendapatkan draf UU tersebut. “Jangan salahkan mahasiswa yang tidak baca draf. Karena drafnya tidak dibuka,” tuding Luther.
Dalam orasinya, Luther mengkritisi hal yang “dibumingkan” pemerintah soal manfaat UU Omni Bus Law, yang katanya akan membuka lapangan pekerjaan dan akan hadirkan banyak investor. Bagi Luther, hal itu ia dan mahasiswa tentang. Karena, UU itu ia nilai hanya untuk kepentingan investor, pemerintah dan hanya untuk kepentingan “orang besar”.
Sebab yang dibutuhkan masyarakat, lanjutnya, adalah keseimbangan antara kepentingan buruh, kepentingan lingkungan, kepentingan masyarakat, kepentingan investor dan kepentingan pemerintah. Serta, yang paling dibutuhkan adalah untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.
Sementara itu, perwakilan dari IMM meminta DPRD Kota Siantar untuk ikut bersama mereka menolak UU Omni Bus Law tentang Cipta Kerja. “Minta bapak ibu dewan menolak Omni Bus Law,” ucap orator dari IMM.
Selain meminta DPRD Siantar, Walikota yang turut menyambut kehadiran pengunjurasa, juga diminta massa untuk menolak UU Cipta Kerja tersebut. Terhadap permintaan mahasiswa itu, Walikota Siantar, Dr Hefriansyah SE MM tidak bisa menyanggupinya. Karena ia belum memahami keberadaan UU Omni Bus Law secara detail. “Saya tidak berpihak kepada DPR. Apa yang jadi keberatan, saya belum paham secara detail tentang UU Omni Bus Law,” ucap Walikota Siantar.
Hanya saja Walikota menyatakan siap mendukung pergerakan mahasiswa untuk menguji keberadaan UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Ada MK, bila tidak puas. Kami Pemko Siantar akan fasilitasi kalian, sekitar 5 orang,” tandas Hefriansyah.
Pada kesempatan itu, dihadapan ratusan massa dan Ketua serta anggota DPRD Siantar, ia menyebut tidak bisa menandatangani petisi untuk menolak UU Omni Bus Law. “Kalau tanda tangan, saya perlu pahami terlebih dahulu,” tutur Hefriansyah.
Bukan hanya Walikota, Ketua DPRD Siantar juga tidak berkenan menandatangani petisi untuk menolak UU Omni Bus Law. Terhadap hal itu, massa kemudian beranjak dari depan gedung DPRD Siantar, lalu melanjutkan aksi di Jalan Merdeka, depan gedung BRI. Tak begitu lama, massa membubarkan diri. (*)
Editor: Purba
Discussion about this post