SBNpro – Medan
Perusahaan media dinilai perlu memperhatikan kesehatan mental jurnalis dan pekerja media lainnya, agar mereka dapat lebih produktif. Imbauan itu mengemuka pada diskusi virtual memperingati hari Kesehatan Mental Dunia, dengan tema, menjaga jurnalis tetap waras, yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan, Jumat (30/10/2020).
Pada diskusi virtual tersebut, Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara Juliana Irmayanti Saragih mengatakan, jurnalis termasuk pekerjaan dengan tingkat stres yang tinggi. Karena jurnalis setiap harinya dikejar tenggat waktu, dan mengalami tekanan yang tidak biasa ditemukan pada jenis pekerjaan lain.
“Terlepas dari persoalan kesejahteraan jurnalis yang masih kurang, seperti yang disampaikan rekan jurnalis tadi, profesi ini adalah pekerjaan yang tingkat stresnya tinggi. Misalnya, jurnalis yang meliput demonstrasi atau perang. Kepada para jurnalis, coba tanya kepada diri sendiri apakah anda mulai gampang marah-marah. Kalau ya, mungkin itu gejalanya,” ucap Juli yang merupakan psikolog klinis dewasa ini.
Menurut Juli, tubuh jurnalis sama dengan tubuh manusia pada umumnya, yang bisa membawa berbagai jenis emosi dari pekerjaan, termasuk yang bersifat negatif. Emosi negatif ini perlu dikelola dengan baik sehingga tidak mengganggu kesehatan mental yang berujung pada menurunnya produktifitas.
Menurutnya, langkah pencegahan tetap menjadi pilihan yang terbaik, karena penanganannya akan lebih mudah dibandingkan jika seseorang telah memiliki gejala gangguan kesehatan mental.
Ia menyarankan setiap jurnalis mencari cara untuk melepaskan/mengekspresikan emosi negatif dengan sehat setelah melakukan peliputan atau kerja jurnalistik lain yang sifatnya mengguncang emosi.
Caranya, lanjut Juli, bisa dengan berlibur, berolahraga, atau berbagi cerita dengan teman dan keluarga. Jurnalis juga bisa berkonsultasi dengan psikolog profesional, jika perusahaan tempatnya bekerja belum memfasilitasi.
“Sudah cukup baik jika ada perusahaan yang membuat gathering atau outbond secara berkala. Namun, beberapa perusahaan memang belum memperhatikan kesehatan mental karyawannya dengan baik. Padahal jika karyawan dianggap aset berharga, maka perusahaan harus memperhatikan aspek ini. Perusahaan kan sudah mengeluarkan investasi untuk meningkatkan kapasitas karyawannya. Nah, kalau karyawan terganggu kesehatan mentalnya kan perusahaan juga yang rugi,” katanya.
Juli mengakui, sebagian masyarakat masih enggan berkonsultasi dengan psikolog, karena terpengaruh stigma yang menempel tentang pasien dengan gangguan kesehatan mental. “Padahal konsultasi dengan psikolog itu bisa dianggap seperti ngobrol dengan teman curhat yang obyektif. Psikolog bisa membantu jika ada orang yang ragu curhat dengan keluarga atau teman,” katanya.
Ketua AJI Medan Liston Damanik mengatakan, riset psikolog terkait kesehatan mental jurnalis pada tahun 2019 di Jakarta menemukan bahwa masalah kesehatan mental yang sering dialami jurnalis adalah stres, kecemasan dan depresi.
“Isu kesehatan mental perlu mendapat pengarusutamaan karena penting. AJI Medan berharap bulan Kesehatan Mental Dunia ini menjadi momentum pengingat agar jurnalis dapat lebih mencintai diri dan tidak segan mencari pertolongan dari keluarga, perusahaan, dan psikolog profesional jika mengalami permasalahan kesehatan mental,” ujarnya. (*)
Discussion about this post