Oleh M Gunawan Purba
Banyak hal menyedihkan yang terjadi di Kota Siantar. Isak tangis kaum marginal dan “gelak tawa” kaum berkantong tebal, menjadi warna yang kentara di kota itu.
Kaum marginal harus siap, meski sesungguhnya tak pernah siap untuk menghadapi “ganasnya” personil Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP) didampingi Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang ada di Pemko Siantar, dan diback-up aparat keamanan maupun aparat pertahanan negara.
Saat beraksi, Sat Pol PP dengan tim terpadunya tak peduli dampak derita yang akan dialami kaum marginal. Mereka merangsek masuk. Menghajar dan membongkar setiap bangunan yang dianggap menyalah.
Seperti yang terjadi terhadap pemukiman warga di pinggiran sungai Toge, Jalan Nias, Kelurahan Toba, Kecamatan Siantar Selatan, Kota Siantar. Belasan rumah yang ada disana, “digasak” personil Sat Pol PP, karena melanggar aturan.
Warga disana umumnya kaum marginal yang ingin menumpang berlindung, karena keterbatasan kemampuan ekonomi. Tapi mirisnya, Pemko Siantar tak peduli dengan itu. Lewat Sat Pol PP, pemukiman digusur.
Begitu juga dengan sejumlah lapak pedagang diberam maupun trotoar jalan. Tak ada lagi ampunan dari Pemko Siantar. Mereka (sejumlah pedagang) “dipaksa” untuk tidak berjualan disana.
Salahkah yang dilakukan Pemko Siantar lewat Sat Pol PP dan tim terpadunya membongkar pemukiman di Jalan Nias dan sejumlah lapak pedagang? Secara aturan mungkin tidak.
Tapi bila ditelusuri dari aspek kehidupan, elite di Pemko Siantar selayaknya merenung. Bila perlu dengan renungan suci, agar lebih meyakinkan nurani dalam bertindak.
Sebab ada ketidak-adilan yang dilakukan Pemko Siantar. Itu karena, pemukiman kaum marginal dan sejumlah lapak pedagang kecil dihajar (dibongkar), tapi itu tidak dilakukan terhadap bangunan mewah City Hotel & Resto atau sering disebut Miles maupun Studio 21 di Jalan Lintas Siantar – Parapat, Kelurahan Tong Marimbun, Kecamatan Siantar Marimbun, Kota Siantar.
Padahal bangunan City Hotel & Resto itu juga melanggar aturan. Karena berdiri dipinggir sungai. Hingga saat ini, bangunan Miles masih berdiri tegak dengan kekebalannya melanggar aturan yang berlaku di negeri ini.
Miris. Itulah yang dirasakan bila menyaksikan tegasnya Sat Pol PP menggusur berbagai bangunan milik rakyat kecil, tapi hingga saat ini tak berdaya menindak bangunan Miles. Meski pejabat berkompeten dari dinas yang membidangi perizinan telah menyatakan gedung Miles dibangun tidak sesuai dengan IMB (Izin Mendirikan Bangunan) yang diberikan.
Selain itu, bangunan Miles itu juga diduga melanggar UU nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, sehingga ada sanksi pidana terhadap pelanggaran izin ruang yang diberikan pemerintah. Serta, bangunan itu juga melanggar ketentuan PP nomor 38 tahun 2011 tentang sungai.
Dengan adanya ketentuan pidana dalam pelanggaran tata ruang sebagaimana amanah UU nomor 26 tahun 2007, membuat rasa ini semakin terheran-heran dengan lembaga penyidik yang ada di Kota Siantar.
Benarkah Walikota tidak tahu tentang pelanggaran itu? Bila benar, berarti Walikota tak mendapat laporan yang benar dari pejabat binaannya.
Pun begitu, haruskah Walikota Siantar membiarkan keperkasaan Miles melanggar aturan hingga bertahun-tahun lamanya? Tidak inginkah Walikota berbuat adil, pasca pemukiman kaum marginal diluluhlantakkan oleh Sat Pol PP? (*)
Discussion about this post