Oleh
Mamah Helohs
Meski dilandasi dengan data yang jelas, menjadi objek hujatan itu cukup menyakitkan. Sehingga menjadi sangat menyakitkan, bila hujatan berupa prasangka tanpa dilandasi data.
Kini, hujatan berupa prasangka semakin banyak ditemukan di media sosial (medsos). Terutama melalui facebook (FB). Lewat FB, hujatan atau prasangka itu tak jarang dialamatkan ke pemerintah.
Dari sejumlah pemilik akun FB yang diketahui merupakan warga Kota Siantar, tidak sedikit ketika “ber-FB”, baik melalui status maupun komentar, cendrung tidak mengkritik, melainkan berprasangka.
Kenapa disebut berprasangka dan bukan mengkritik? Sebab, hal yang disajikan di status dan kolom komentar di FB, “lahir” tanpa analisa serta evaluasi terhadap data dan fakta.
Padahal menganalisa maupun mengevaluasi data dan fakta, dapat meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi dan dapat menjadi perbaikan terhadap suatu pekerjaan.
Namun praktik yang tersaji pada sejumlah akun FB, berupa kesimpulan terhadap suatu objek, tanpa mengetahui data dan fakta yang jelas. Sehingga hasilnya sangat menyesakkan hati.
Pada kesempatan ini, penulis coba memaparkan faktor yang menyebabkan timbulnya prasangka (baron dan byrne). Dalam hal ini, ada 4 faktor yang menyebabkannya.
Faktor pertama, konflik antar kelompok secara langsung. Di jelaskan dalam teori kelompok realistis, hal ini karena adanya kompetisi dalam mendapatkan kekuasaan atau mendapatkan sumber daya yang terbatas.
Faktor kedua adalah pengalaman belajar pada masa awal perkembangan. Dari teori belajar sosial, sesorang berprasangka karena lingkungan atau kelompoknya telah mempersiapkannya untuk berprasangka.
Faktor ketiga disebut dalam teori kategori sosial. Yakni, individu membagi dunia sosialnya menjadi dua kategori ekstrim yang saling terpisah. Ada kecendrungan seseorang akan meletakkan objek dan manusia ke dalam kelompok.
Serta faktor keempat, adalah faktor kognisi (pemikiran) sosial, bagaimana individu berfikir tentang individu lain dan adanya keseragaman dari kelompok luar. Faktor ini yang berkontribusi adalah korelasi ilusif.
Beranjak dari keempat faktor itu, didapati kesimpulan, prasangka adalah bagian dari sifat manusia yang akan tetap ada. Namun membiarkan prasangka begitu saja sama dengan membiarkan diskriminasi terjadi, yang dengan sendirinya akan melahirkan perpecahan dan konflik. Sehingga, sering pula prasangka merupakan sikap sementara. Sedangkan diskriminasi merupakan tindakan.
Kemudian, mengutip status seorang teman di akun FB-nya, dapat pula ditambahkan satu faktor aplikatif lainnya. Seperti, “menunggu telepon atau panggilan”. Dengan kata lain, prasangka sengaja dilontarkan agar mendapat perhatian, dan ujung-ujungnya menguntungkan.
Tulisan ini tidak bermaksud ditujukan pada seseorang atau pada suatu kelompok. Karena itu sama saja artinya penulis juga berprasangka. Tapi lebih untuk membuka cakrawala berfikir untuk menghilangkan prasangka dan mengendepankan kritik., mengedepankan evaluasi dan analisa, daripada menduga, menuduh dan menyalahkan.
Lalu apa yang harus dilakukan untuk menjauhkan prasangka dalam sebuah objek? Atau terhadap individu atau kelompok lain?
Berbagai teori psikologi mengemukakan solusinya, antara lain dengan memperbaiki kondisi sosial ekonomi, membuka kesempatan belajar, menghilangkan strata dalam sifat keduniawian dan mengembangkan sikap terbuka dan lapang dada.
Tiga solusi awal tentunya merupakan tugas besar yang harus diambil oleh pemimpin . Sedangkan sikap terbuka dan lapang dada bisa dimulai dari setiap individu dan kelompok, dengan selalu menjalin komunikasi, melalui pemahaman timbal balik. (**)
Discussion about this post