Oleh M Gunawan Purba
Harus diakui, hasil Pilkada Kota Siantar tahun 2020 telah melahirkan kepastian hukum untuk pemimpin Kota Siantar dimasa depan.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara sudah menuntaskan tugasnya, seiring dengan menetapkan Pasangan Calon (Paslon) Asner Silalahi dan dr Susanti Dewayani sebagai Calon Walikota dan Wakil Walikota Siantar terpilih.
Serta, KPU Kota Siantar juga telah mengusulkan pelantikan Susanti Dewayani sebagai Wakil Walikota kepada pemerintah. Sedangkan Walikota Siantar terpilih tidak diusulkan untuk dilantik, karena Asner Silalahi telah meninggal dunia.
Hanya saja saat ini, kapan Susanti Dewayani dilantik, menjadi polemik yang sering dibahas banyak elemen masyarakat, maupun penyelenggara pemerintahan.
Pembahasan bukan sebatas di warung kopi. Melainkan, banyak media yang menyoroti persoalan pelantikan Wakil Walikota Siantar terpilih, hasil Pilkada tahun 2020 lalu. Kontroversi pun mencuat.
Bahkan kontroversi itu terjadi antara sesama penyelengara pemerintahan. Alasan pandemi Covid-19 ikut dibawa-bawa.
Bila berpikir jernih, dengan memahami ketentuan undang-undang (ketentuan hukum/UU) yang berlaku, tidaklah perlu berkontroversi tentang kapan pelantikan akan dilakukan. Namun sulit sih untuk berpikir jernih. Karena ada kepentingan disana.
Pihak yang berkepentingan dengan pelantikan, mereka akan melahirkan argumen untuk mendukung, meminta maupun mendesak, agar pelantikan secepatnya dilakukan. Kesan memaksakan pun muncul dari mereka.
Apa saja kepentingan itu, tentu banyak. Banyak kalipun. Mulai dari mereka yang tidak suka dengan Hefriansyah (Walikota Siantar saat ini) karena tidak mendapatkan “roti”. Baik “roti” jabatan, proyek, maupun “fasilitas” tertentu lainnya. Namun ironinya, hal itu disebut wajar oleh mereka.
Hanya saja, bila kita melepas kepentingan, dan menjadikan hukum (peraturan perundang-undangan) adalah panglima yang harus dikedepankan dari kepentingan kelompok ataupun golongan, tentunya persoalan pelantikan Wakil Walikota Siantar terpilih, tidaklah perlu dipolemikkan secara berlebihan.
Lihat dan pahami saja ketentuan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pengesahan Perpu Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada yang telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2015 dan UU Nomor 10 Tahun 2016, serta UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan perubahannya.
Di UU itu, ada diatur tata cara pengangkatan dan pemberhentian Walikota (kepala daerah) dan Wakil Walikota. Seperti, salah satunya akhir masa jabatan (AMJ) kepala daerah yang harus dihargai.
Di UU juga diatur ketentuan lain yang bisa memberhentikan kepala daerah. Misal, karena meninggal dunia, diberhentikan karena melanggar sumpah atau janji jabatan, melakukan perbuatan makar dan lainnya.
Kemudian, jika merunut UU tentang Pilkada, maka masa jabatan kepala daerah (KDH) bisa dipangkas, menjadi tidak lima tahun. Tapi pemangkasan jabatan tidak berlaku untuk semua hasil Pilkada. Itu ada diatur di pasal 202 yang syarat ketentuannya diatur pada sejumlah point di pasal 201, baik di UU Nomor 10 Tahun 2016 dan UU Nomor 8 Tahun 2015.
Diamanahkan oleh UU tersebut, masa jabatan kepala daerah yang tidak sampai 5 tahun, akan diberikan kompensasi. Hal itu bisa terjadi terhadap kepala daerah hasil Pilkada 2018 dan kepala daerah dari hasil Pilkada 2020.
Dimana, hasil Pilkada 2018 disebut, masa jabatan hingga tahun 2023, meski ada daerah yang kepala daerahnya berakhir masa jabatannya tahun 2019, namun daerah itu tetap ikut kontestasi Pilkada 2018 yang lalu.
Sementara, ketentuan lainnya menyatakan, kepala daerah hasil Pilkada 2020 menjabat hingga tahun 2024. Dan Kota Siantar merupakan salah satu daerah yang bergabung di Pilkada serentak tahun 2020, karena sebelumnya Kota Siantar masuk pada gelombang Pilkada serentak tahun 2015.
Sementara, masa jabatan Walikota Siantar hasil Pilkada 2015 dimulai sejak Pebruari 2017, dan akan berakhir masa jabatannya pada Pebruari 2022. Karena tidak ada aturan pada UU Nomor 8 tahun 2015 maupun UU Nomor 10 tahun 2016 yang menyatakan jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2015 dapat dipangkas masa jabatannya.
Dengan demikian, hingga saat ini penulis menilai (berasumsi), jabatan Walikota Siantar hasil Pilkada 2015 yang diemban Hefriansyah SE MM tidaklah layak untuk dipangkas.
Memperhatikan penomena politik di Kota Siantar pasca penetapan Calon Walikota dan Wakil Walikota Siantar terpilih dari hasil Pilkada 2020 yang lalu, terdapat permintaan dari segelintir elemen masyarakat yang terkesan abai dari amanah UU, dengan meminta Hefriansyah diberhentikan dari jabatan Walikota Siantar, meski masa jabatannya belum berakhir.
Padahal sudah jelas diatur di UU, kepala daerah (termasuk Walikota), baru dapat diberhentikan bila masa jabatannya berakhir, bila melanggar sumpah atau janji jabatan, jika melakukan perbuatan makar, melakukan perbuatan korupsi, tidak dapat menjalankan tugas dalam waktu lama dan lainnya. Apakah hal itu terjadi? Jawabnya tidakkan?
Untuk itu diharapkan, tidak terjadi preseden buruk di Kota Siantar, dengan “memaksakan” pengurangan masa jabatan (AMJ) kepala daerah. Konstitusi harus tegak.
Apalagi jauh sebelum ini, DPRD Kota Siantar sudah pernah dua kali berupaya “melengserkan” Hefriansyah dari jabatan Walikota Siantar, dengan menggunakan hak angket mereka.
Dimana, pada penggunaan hak angket pertama, DPRD Kota Siantar tidak meneruskan hasil kerja Panitia Angket. Sehingga Hefriansyah pun tidak dapat dinyatakan bersalah. Apalagi Mahkamah Agung (MA) tidak sempat terlibat disana.
Pada penggunaan hak angket yang kedua, usulan DPRD Kota Siantar “ditolak” oleh MA. Dengan begitu, apa yang dituduhkan terhadap Hefriansyah oleh DPRD Kota Siantar tidak memenuhi syarat kebenaran, setelah diuji (dievaluasi) Mahkamah Agung.
Lalu akhir-akhir ini, tekesan ada upaya lain untuk memaksa “melengserkan” Walikota Siantar yang sah saat ini, dengan munculnya sejumlah penggiringan opini, yang seakan-akan memangkas masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada 2015 diperkenankan. Opini itu tentunya harus diabaikan, karena bisa menjadi preseden buruk bila diakomodir. (*)
Discussion about this post